Sabtu, 22 Januari 2011

TINJAUAN KASUS : THIWUL POTRET SADAR KERAGAMAN PANGAN


Kasus thiwul yang diduga penyebab kematian enam anggota keluarga Jamhamid di Mayong, Jepara beberapa waktu lalu (Berita pada harian Suara Merdeka, Jateng) dapat menimbulkan implikasi yang luas. Salah informasi dapat berimbas pada salah persepsi khalayak tentang thiwul dapat mengamcam ketahanan pangan masyarakat tingkat rumah tangga dan menghambat implementasi Perpres No. 22/ 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Hal yang paling tidak diharapkan adalah jika thiwul divonis sebagai makanan yang tidak aman, sehingga harus dihindarkan dari menu masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta bagian Selatan.  
Penyebab tewasnya saudara kita itu sejauh ini masih diselidiki. Dugaan sementara akibat senyawa toksik HCN yang merupakan racun alami ketela tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan toksin yang dihasilkan mikroflora liar atau bakteri yang tumbuh dari bahan baku yang kurang baik, atau bisa pula karena kontaminasi racun eksternal. Jangan kambinghitamkan thiwul dan kemiskinan. Sebab keracunan dapat terjadi dari makanan apa saja. Yang paling perlu diperhatikan sesungguhnya adalah, kualitas bahan baku dan proses yang memenuhi standar keamanan yang baik.
Diketahui thiwul adalah makanan tradisional yang berbahan baku utama tepung gaplek. Gaplek berasal dari singkong (Manihot utilissima sp) dari varietas apapun yang diawetkan melalui tahapan pembuangan kulit (pengupasan) dan pengeringan hingga kadar air maksimal 14%. Beberapa perbaikan proses dilakukan melalui  pengecilan ukuran menjadi chip dan sawut serta proses fermentasi sebelum pengeringan. Dengan proses fermentasi akan diperoleh produk yang disebut cassava fermented flour atau yang lebih populer disebut tepung mocal (modified cassava flour) yang memiliki sifat –sifat fisik tepung dan sifat organoleptik produk yang jauh lebih baik.
 Thiwul dibuat melalui tahapan proses penggilingan dan pengayakan sehingga diperoleh tepung gaplek, selanjutnya pada tepung gaplek ditambahkan sedikit air untuk membantu pembentukan granulasi (butiran-butiran). Pada tahapan ini dapat ditambahan bahan pangan lain, seperti tepung kacang tunggak, gude, terigu, gula, bahkan bahan tambahan pangan (food additive) seperti perisa (flavoring) dan pengawet, sebelum kemudian dikukus (steaming). Thiwul selanjutnya disajikan sebagai makanan pokok sebagaimana nasi atau makanan kudapan (makanan selingan).
Tujuan penambahan bahan pangan lain (diluar gaplek) adalah untuk meningkatkan nilai gizi dan penciptaan citarasa thiwul yang memenuhi selera konsumen. Sebagai perbandingan thiwul tradisional (tanpa penambahan bahan pangan lain) nilai nutrisinya rendah, yakni untuk tiap 100 gram thiwul mengandung rata-rata 1,5 % protein, 0,7 % lemak, 80 % karbohidrat dan 4-10 % gula, dengan memodifikasi dengan menambah bahan pangan lain semisal kacang-kacangan mampu meningkatkan nilai protein hingga 5 %, lemak 1-5 %, dan karbohidrat turun menjadi 76-80%, sementara nilai nutrisi nasi putih rata-rata 3,1% protein, 0,1 % lemak dan 65-70% karbohidrat. Jelas thiwul makanan yang cukup baik, apalagi bila difortifikasi dengan berbagai unsur mineral mikro dan vitamin sebagaimana diproduksi PT. Sinar Sukses Sentosa (SSS) di Gunung Kidul, Yogyakarta atau PT. Cahaya Sejahtera Sentosa (di Jatim), maka thiwul layak disebut makanan bergizi. Jika thiwul dibuat melalui tahapan sebagaimana uraian di atas, niscaya kejadian yang menimpa saudara kita di Jepara tidak pernah terjadi dan thiwul adalah makanan yang sehat serta memenuhi sebagai sumber kalori.
Potret Sadar Keragaman Pangan
                Banyak sudah penulis yang mengaitkan keracunan thiwul dengan kemiskinan suatu masyarakat, sebagaimana ditulis saudara Saratri W., (SM, 7/1/2011) dan Joko Priyono, (SM, 11/1/2011). Logika yang dibangun jelas, bahwa tidak mungkin orang berkecukupan secara ekonomi mengonsumsi thiwul sebagai makanan pokok.  Tetapi pada kesempatan ini penulis mengambil sisi positip di atas bahwa, thiwul sebagai bagian dari kekayaan menu nusantara yang harus dipertahankan. Lebih jauh penulis berpendapat mengonsumsi thiwul sebagai tindakan cerdas yang merupakan bagian dari strategi rumah tangga dalam rangka membangun pola makanan yang bergizi, beragam dan berimbang (B3) menuju pola pangan harapan (PPH) yang ideal. Juga berharap sebagai strategi masyarakat (Negara) membangun kemandirian pangan yang berkelanjutan, tidak bergantung pada satu jenis makanan utama (beras). Ini sekaligus sebagai implementasi Perpres No. 22/2009. Mengapa?
            Data survey sosial ekonomi nasional (Susenas-2008) menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia - dengan indikator skor PPH- masih jauh dari harapan. Data Susenas (2008), menunjukkan skor PPH nasional sebesar 81,9 dengan nilai asupan energi sebesar 2.038 kkal/kapita-hari. Namun data terbaru (2009) menunjukkan skor PPH Nasional merosot menjadi 75,7 dengan asupan energy sebesar 1.927 kkal/kapita-hari. Sementara pencapaitan di Jawa Tengah nilai PPH 83,70 (2009) dengan nilai asupan 2.300 kkal/kapita-hari.  Ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat belum mencerminkan aspek keragaman sumber kalori, sebagaimana pola konsumsi yang direkomendasikan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) dengan asupan energi penduduk sebesar 2.000 kkal/kapita/hari, yang proporsi pemenuhannya berasal dari makanan jenis padi-padian sebesar 50 % dari angka kecukupan gizi (%AKG), umbi-umbian 6%, pangan hewani 12 %, minyak dan lemak 10%, buah dan biji berminyak 3%, kacang-kacangan 5%, gula 5%, sayuran dan buah 6%, serta bumbu-bumbuan 3 %. Nilai PPH berasal dari nilai % AKG dikalikan skor, yang nilainya berbeda untuk tiap kelompok makanan sumber energy. Thiwul dalam hal ini dimasukkan sebagai makanan sumber kalori karbohidrat dari kelompok umbi-umbian.
            Pola konsumsi masyarakat Jawa Tengah berdasarkan penelitian Sumardi (2008) masih didominasi kelompok padi-padian sebagai sumber kalori (63%) dan makanan berpati (6,4%). Konsumsi pangan hewani masih rendah (4-6%), demikian juga kelompok kacang-kacangan (4,6%) dan sayur serta buah-buahan (3,9%). Yang perlu dicermati dari kelompok biji-bijian adalah konsumsi terigu yang meningkat tajam dari waktu ke waktu dan sudah mencapai 18,2 kg/kapita-hari. Ini tidak lain akibat budaya mengonsumsi mi instan dan roti-rotian yang terus mengakar kuat di tengah masyarakat.
Perlu dibangun kesadaran pentingnya berpola konsumsi yang sehat, yang menekankan aspek keragaman sumber bahan pangan, namun pada sisi lain juga pangan yang bernilai gizi yang baik dan berimbang (proporsional). Thiwul sebagai salah satu jenis makanan tradisional berkontribusi pada aspek keragaman sumber pangan, terlebih thiwul yang dibuat dengan penambahan bahan lain seperti kacang-kacangan dan disajikan secara modern. Mengonsumsi thiwul harus dipandang sebagai kesadaran untuk berpola konsumsi yang sehat, bukan suatu keterpaksaan atau ketiadaan bahan pangan lain. Maka teruslah konsumsi makanan selingan ini tanpa rasa malu dan takut keracunan.
(Penyumbang artikel : Rohadi, Pengajar pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Semarang (USM). Anggota Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (KP3K) Jateng Bidang Agroindustri)
Baca Selanjutnya >>>>> TINJAUAN KASUS : THIWUL POTRET SADAR KERAGAMAN PANGAN

Senin, 17 Januari 2011

EKSTRAK TEH HIJAU UNTUK PENGAWETAN IKAN BANDENG SEGAR

Ikan Bandeng (Chanos-chanos forsk) merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan (perishable food), karena mempunyai susunan jaringan tubuh yang longgar, kandungan air yang cukup tinggi dan mengandung nutrisi yang lengkap, sehingga mikroba dengan mudah menggunakannya sebagai media pertumbuhan. Untuk itu diperlukan suatu penanganan yang khusus supaya ikan bandeng segar tidak cepat mengalami kerusakan/pembusukan.
Salah satu cara yang paling sederhana dan biasa dilakukan untuk memperpanjang daya simpan/keawetan ikan bandeng segar adalah dengan menambah es batu/pecahan es batu untuk menurunkan suhu tubuh ikan; karena dengan suhu yang rendah pertumbuhan bakteri yang menyebabkan pembusukan dapat dihambat perkembangbiakannya dan proses autolisis dapat dihambat pula sehingga kesegaran ikan dapat terjaga baik.
Penggunaan es dapat berfungsi dengan baik apabila faktor suhu lingkungan mendukung; apabila suhu lingkungan tinggi (panas) maka es akan cepat mencair, sehingga fungsi es sebagai penghambat perkembangan bakteri pembusuk dan proses autolisis tidak dapat bekerja dengan maksimal; apalagi mengingat Indonesia merupakan daerah dengan iklim tropis yang suhu udaranya cenderung selalu tinggi (panas).
Berdasar hal tersebut maka diperlukan cara lain yang dapat diaplikasikan sebagai bahan pengawet ikan bandeng segar. Salah satu cara yang dapat dijadikan alternatif untuk memperpanjang masa simpan ikan bandeng segar pada suhu kamar adalah dengan cara perendaman dalam ekstrak teh hijau (Camellia sinensis L. Kuntze), karena di dalamnya mengandung senyawa bioaktif yang dapat bersifat sebagai antimikrobia (senyawa flavanol dan katekin).
Dari hasil penelitian mahasiswa TP-USM bahwa penggunaan (perendaman dalam) ekstrak teh hijau yang paling efektif dalam memperpanjang keawetan ikan bandeng segar pada suhu kamar adalah konsentrasi 10%, dimana dapat memperpanjang keawetan ikan bandeng segar selama 24 jam.


 
Baca Selanjutnya >>>>> EKSTRAK TEH HIJAU UNTUK PENGAWETAN IKAN BANDENG SEGAR

Senin, 10 Januari 2011

UMUR SIMPAN BANDENG PRESTO (PRESSURE-COOKED MILKFISH)

Kota Semarang selain terkenal dengan kuliner jajannya seperti : lumpia, wingko babad, roti ganjel rel, soto ayam, dll, juga terkenal dengan kuliner olahan ikannya, yaitu Bandeng Presto (bandeng duri lunak). Di sepanjang jalan Pandanaran sebagai wilayah pusat jajanan bisa didapatkan banyak toko atau depot penjual bandeng presto dengan berbagai merk dan citarasa.
Bandeng presto merupakan produk olahan ikan bandeng yang sudah lama di produksi di kota Semarang dan menjadi salah satu ikon kuliner kota Semarang. Kota Semarang bukan merupakan penghasil utama ikan bandeng, sehingga bahan bakunya banyak didatangkan dari kota-kota sekitar, seperti : Juana, Demak, Kendal, dll.
Bandeng presto merupakan hasil olahan dari ikan bandeng segar yang dibuat melalui pemasakan bertekanan tinggi menggunakan alat "Presto" (pressure cooker) atau autoclave bertekanan 450 psi untuk setiap 60 kg ikan bandeng pada suhu 122 derajat celsius selama 60-90 menit, sehingga dihasilkan bandeng dengan tekstur daging dan tulang yang sangat lunak. Pada industri rumahan/UKM peranan alat presto atau autoclave digantikan dengan "drum" yang dimodifikai sedemikian rupa sehingga bisa menjadi alat presto; seperti misalnya dilakukan di industri pengolahan (UKM) bandeng presto "Pak Kumis" di Kudus.
Akibat dari pengolahan dengan alat presto, selain daging dan durinya yang menjadi lunak, komponen gizi (nutrisi) pada ikan bandeng juga menjadi berubah, menjadi terdegradasi,sehingga menjadi lebih siap untuk dicerna, yang mengakibatkan bandeng presto menjadi tidak awet (cepat busuk), akibat pengaruh mikroba yang mudah tumbuh pada bandeng presto.Selain itu, bahan baku ikan bandeng memang termasuk produk pangan yang mudah rusak (perishable food).
Hasil pengamatan dan penelitian dari mahasiswa Teknologi Pangan-Universitas Semarang (TP-USM) didapatkan hasil bahwa umur simpan bandeng presto (berdasarkan pengamatan Angka Lempeng Total/ALT bakteri) pada penyimpanan suhu kamar/suhu ruang adalah selama 2 hari. Pada penyimpanan selama 2 hari didapatkan rata-rata nilai ALT sebesar 1,77x10 pangkat 5 koloni/gr; nilai ini masih di bawah persyaratan SNI 01-4106-1996 dimana ALT untuk bandeng presto maksimal 2x10 pangkat 5 koloni/gr.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat memperpanjang masa simpan produk bandeng presto diantaranya adalah :
- Pemilihan bahan baku ikan bandeng yang bermutu baik (terutama tingkat kesegaran dan kebersihan ikan bandeng)
- Peningkatan higienis dan sanitasi pada penanganan dan pengolahan ikan bandeng
- Penggunaan bumbu-bumbu yang mengandung senyawa pengawet (antimikrobia), seperti : kunyit, jahe, kayumanis, bawang putih, cabai merah, sereh, dll
- Penyimpanan produk bandeng presto di dalam almari pendingin (refrigerator)
- Pengemasan produk bandeng presto dengan menggunakan pengemas vakum
  (ads)
Baca Selanjutnya >>>>> UMUR SIMPAN BANDENG PRESTO (PRESSURE-COOKED MILKFISH)