Sabtu, 27 November 2010

SUBSTITUSI TEPUNG SUKUN PADA OLAHAN PANGAN

    Salah satu agenda penting kebijakan pemerintah dibidang pangan adalah terwujudnya ketahanan pangan masyarakat yang dinamis dari waktu ke waktu. Ketahanan pangan mengandung 3 unsur utama : (1) Penyediaan pangan (availability), (2) Keterjangkauan pangan (accessibility) secara ekonomi dan fisik serta (3) Stabilitas (stability) ketersediaan.
    Dalam konteks ketahanan pangan, maka program penganekaragaman (diversifikasi) pangan sangatlah relevan, bahkan terasa sangat penting, mengingat saat ini sebagian besar masyarakat, khususnya di Jawa Tengah, masih tergantung pada salah satu bahan makanan pokok, yaitu beras. Disisi lain terdapat kecenderungan pola konsumsi beras per kapita sedikit menurun. Namun keadaan ini bukan disebabkan oleh "keberhasilan program diversifikasi pangan lokal", melainkan karena adanya pergeseran pola konsumsi ke gandum (terigu).
     Di Jawa Tengah banyak ditemukan jenis bahan pangan sumber karbohidrat, baik yang berbasis biji-bijian, umbi-umbian, maupun buah-buahan. Namun tidak semua jenis tersebut layak dan prospektif untuk dikembangkan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat non beras dan non terigu, dikarenakan pertimbangan kemudahan/ketersediaan, ekonomis, disukai konsumen dan aplikatif pada produk olahan pangan. Dari hasil survei lapangan dan telaah pustaka setidaknya ada 10 jenis bahan pangan sumber karbohidrat yang layak dan prospektif untuk dikembangkan . Dari sejumlah itu salah satu diantaranya yaitu buah Sukun (Arthocarpus communi). Mengapa buah Sukun? Karena fakta menunjukkan bahwa buah sukun (Bread fruits) komposisi tepungnya mengandung Protein 4-5%, Lemak 2,7-3,5%, Karbohidrat 81-83% dan Pati 76% fraksi dominan adalah amilopektin 82%. Kualitas nutrisinya setara dengan beras dimana kandungan Protein 3-4% dan Karbohidrat 82-85%; sedikit di bawah komposisi nutrisi terigu dengan kandungan Protein 7-18% dan Karbohidrat 83-88%. Data statistik menunjukkan bahwa produksi sukun di Jawa Tengah mencapai 8.439 ton tahun 2004 meningkat menjadi  13.063 ton pada 2005; dimana sentra penghasil sukun adalah wilayah Pekalongan, Semarang, Pati, Banyumas, Kedu dan Surakarta.
    Sifat khas dari buah sukun yang kurang disukai saat dikonsumsi adalah munculnya citarasa  pahit dan getir yang disebabkan oleh senyawa glukosida sianogenik pada daging buah sukun. Senyawa tersebut dapat terdegradasi secara enzimatis dan dihasilkan asam sianida (HCN) yang bersifat toksid (beracun). Kadar HCN pada sukun segar diestimasi > 70 ppm; dimana pada level 0,5/3,5 mg/kg berat badan dapat bersifat mematikan.
     Hasil penelitian yang dilakukan oleh staf Jurusan Teknologi Pangan-USM berkaitan dengan tepung sukun adalah :
1. Kemasan yang baik untuk penyimpanan tepung sukun adalah plastik PE 0,5 mm, apabila dibandingkan dengan kemasan kantong kain (seperti pada kemasan zak terigu), karena kemasan tersebut dapat stabil mempertahankan kandungan air, derajat putih dan vitamin C dalam tepung sukun.
2.  Pada pembuatan roti manis, tepung sukun dapat mensubstitusi terigu sebanyak 10% untuk hasil mengembangan roti yang optimal dan hasil yang paling disukai oleh konsumen.
3.  Untuk pembuatan makanan ekstrusi tepung sukun dapat mensubstitusi jagung giling kasar sampai 15% dengan sifat fisik dan kimiawi yang baik (sesuai standar SNI)
4.  Pada pembuatan mie kering,  sukun dapat mensubstitusi terigu hingga 5% dengan hasil mie kering yang sifat-sifat mutunya masih memenuhi standar SNI.
5. Perlakuan perendaman dalam larutan basis (air kapur) sekurangnya 15 jam yang dikombinasi dengan pemarutan dapat menurunkan hingga 43% kadar HCN; dengan rendemen 25-30% dan kadar HCN sekitar 40 ppm cukup aman untuk dikonsumsi. (Ads)

3 komentar:

  1. yang seperti ini seharusnya di kembangkan di masyarakat...jadikan ini ilmu yang benar2 bisa di kembangkan masyarakat...

    BalasHapus
  2. terimakasih atas komentar anda. Memang selama ini kita (BKPA-USM/FTP-USM) melalui setiap kegiatan pelatihan olahan pangan pada masyarakat memberikan edukasi tentang perlunya mengembangkan dan memanfaatkan potensi pangan lokal, sehingga tidak tergantung dengan pasokan luar daerah atau import, sehingga potensi tepung2an lokal (tepung sukun, jagung, umbi-umbian, pisang, mokaf) dapat lebih diberdayakan untuk ketahanan pangan masyarakat

    BalasHapus